Alas Ketonggo, adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi, yang terletak
12 Km arah selatan kabupaten Ngawi. Jawa Timur. Menurut masyarakat Jawa,
Alas Ketonggo merupakan salah satu dari kedua alas-angker / “wingit” di tanah
Jawa. Disana terdapat kerajaan makhluk-halus, begitu menurut masyarakat.
Sedangkan satu hutan lainnya adalah, Alas-Purwa di Banyuwangi. Alas Purwa
disebut dengan “Bapak”, sedangkan Alas Ketonggo disebut dengan “Ibu”.
Menurut catatan, di Alas-Ketonggo terdapat lebih dari sepuluh (10) tempat
pertapaan :
Mulai dari Palenggahan-Agung-Srigati, Pertapaan-Dewi-Tunjung-Sekar,
Sendang-Derajad, Sendang-Mintowiji, Goa Sidodadi Bagus, Pundhen Watu Dakon,
Pundhen Tugu Mas, Umbul Jambe, Punden Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem,
Sendang Panguripan, Kori Gapit, dan Pesanggrahan Soekarno.
.
PALENGGAHAN AGUNG SRIGATI
Lokasi Palenggahan Agung Srigati ini di wilayah Desa Babadan, Kecamatan
Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa-Timur. Konon, tempat ini dulunya adalah tempat
peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari kerajaan Majapahit karena
kerajaan diserbu oleh tentara-tentara Demak dibawah pimpinan R.Patah dan
Wali-Sanga ( Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa ).
Dikatakan, ditempat itulah Sang Prabu kemudian melepas semua tanda-tanda
Kebesaran-Kerajaan, yaitu jubah Beliau, Mahkota , dan semua benda-benda Pusaka;
konon, kesemuanya kemudian “raib”, “moksa”. Dan lalu Sang Prabu
melanjutkan perjalanan menuju Gunung Lawu.
Yang merupakan petilasan Sang Prabu Brawijaya V
adalah berupa gundukan tanah yang tumbuh setiap hari dan mengeras bagaikan
membentuk batu-karang. Kini, gundhukan tanah tersebut, yang didasari
plesteran-semen ditutup keramik, dikelilingi oleh sebuah bangunan berukuran 4X3
meter. Dinding rumah Palenggahan Agung Srigati ini biasanya ditutupi bendera
Merah-Putih panjang, namun Sabtu kemarin, penutupnya hanya berupa kain putih
saja.
Didalam rumah-rumahan Palenggahan Agung ini,
terdapat berbagai benda-benda yang secara simbolik melambangkan tanda-tanda
kebesaran kerajaan Majapahit. Baik berupa mahkota Raja, tombak-tombak pusaka,
gong, dan lain-lainnya. Di dalam ruangan ini sangat pekat aroma Dupa dan
bunga-bunga, hal yang sangat wajar kita temukan di sebuah tempat “sakral”. Dupa
dan taburan bunga-bunga ini berasal dari para pengunjung.
Pak Marji ( Juru Kunci ) menyatakan, gundukan tanah
tersebut pada saat-saat tertentu tidak tumbuh menyembul, katanya saat Indonesia
mengalami suatu musibah atau peristiwa yang kurang-baik, maka gundukan tanah
tidak akan tumbuh. Bila gundukan tanah tidak tumbuh, maka ini menjadi pertanda
buruk bagi bangsa dan negara, begitu katanya.
Pada saat terjadi krisis moneter 1997, tanah
tersebut tidak tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan yang menyembul.
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan Jumat
Legi, apalagi di bulan Sura, masyarakat Jawa berbondong-bondong datang ke
Palenggahan ini. Pada saat-saat itu, warga banyak menguncarkan “doa” dan
bertapa, memohon berkah kepada “yang Maha Kuasa”, dari yang meminta berkah
rejeki, karier, hingga perjodohan.
Petunjuk Dan kisah Mistis Yang Pernah terjadi :
Pak Marji menuturkan, banyak kisah mistis di Alas Ketonggo yang berhubungan
dengan situasi politik-nasional. Alkisah, menjelang Soeharto (Presiden RI
kedua) lengser pada tanggal 21 Mei 1998, ada pohon jati yang mengering dan
mati. Padahal sebelumnya, pohon itu tumbuh seperti biasa.
Dua puluh tiga (23) hari sebelum Ibu Tien Soeharto
meninggal juga ada kejadian aneh, yaitu patahnya sebuah dahan pohon besar di Alas-Ketonggo.
Padahal saat itu tidak ada hujan tidak ada angin
Tanggal 20 Juli 2001, tiga hari menjelang Megawati
Soekarnoputri dilantik menjadi Presiden RI, muncul cahaya Biru dan Putih
bagaikan lentera diatas Kali Tempur Sedalem.
Cerita-cerita mistis seperti inilah yang membuat banyak orang
“ngalab-berkah” ke Alas Ketonggo. Tidak jarang, bahkan para pejabat-pejabat
negara Republik Indonesia berkunjung ke tempat ini mencari “orang-sakti” , atau
untuk “mohon-petunjuk” kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu katanya.
Sayangnya, jalan menuju Alas Ketonggo ( khususnya menuju Palenggahan Agung
Srigati ) ini sangat tidak terawat. Yang ada hanya jalan berbatu (tanpa aspal)
yang bergelombang, sempit.(
sumber)